Sunday, March 8, 2015

Aku Tidak Ingin Ayah Baru
Oleh Miftahul Choiriah


Aku dilahirkan di kota Lampung, tepatnya di kota Bandar Lampung. Saya adalah seorang yatim, ayah saya meninggalkan saya saat duduk dikelas 3 SD. Hatiku pun terasa sedih sekali saat kehilangan ayah. Dan sebelum ditinggal ayah saya, sebaris kata ayah yang selalu berulang menelusup telingaku, “nak, kamu harus bisa jadi anak kebanggan ayah, kamu harus jadi seorang dokter. Kamu pasti bisa.!!’’. Tetapi kata-kata yang dikatakan ayah dulu, belum aku mengerti apa maksud beliau berkata seperti itu dan kelas 5 SD saya dinyatakan tidak naik kelas, dan saat saya berumur 13 tahun saya bersekolah di daerah terpencil yang jauh dari keramaian, saya dititipkan tempat saudara, kakak dari ibu saya. Dan itu kemauan saya sendiri, ibu saya awalnya tidak ingin kalau sekolah jauh dari orang tua, tetapi ibuku menuruti kemauanku. Sejak SMP itu lah saya memikirkan untuk bercita-cita menjadi dokter, seperti keingan ayah saya sejak dulu. Pertama tinggal di tempat saudara, saya tidak suka terasa ingin pulang tetapi saya jalani dengan tersenyum, dan ini juga demi kebaikkan saya juga “ di Bandar Lampung saya bersenang-senang, tetapi saat saya pindah didesa, saya harus benar-benar bersekolah”
Matahari sudah terbit saya pun berangkat sekolah. Di sekolah saya mempunyai teman-teman baru dan menjalankan sekolah saya dengan senang hati, bercanda dan tertawa dengan bahagia. Saat awal masuk sekolah, saya belajar dengan giat mengerjakan tugas dan PR dengan baik, saat itu saya dikatakan anak yang pintar, sampai-sampai saya disukain oleh teman-teman saya. Tetapi menurut teman-teman saya mengatakan dengan logat jawanya itu.
“kamu memang pintar, tapi kok ora tau resek-resek yo”. Aku pun tersenyum dan menjawab pertanyaan dari teman saya.
“hm, ya gimana ya, gua ini males kerja-kerja kayak gitu, jangankan ngepel lantai, kadang nyapu aja masih ada yang ketinggalan geh”, teman saya pun tertawa dia mengatakan,
“aduh aduh, gimana kamu ini, emang yo kalo orang kota kayak gitu, pada pinter semua, tapi la kok ora tau resek-resek, ya udah kalo gitu, aku arep resek-resek disek, ayok ikut”
“ males , ya udh sana bersih-bersih, gua mah ogah”.
Saat itu juga saya diberi peringatan kepada teman-teman saya, karena tidak ingin bersih-bersih kelas setiap hari jum’at, teman saya pun bicara ke saya, dengan logat jawanya menghampiri saya di kantin sekolah.
“kue iki ora tau resek-resek aku bilangin karo pak Ribut lo”, dengan muka sedikit agak marah.
“emang kenapa, masalah buat anda, kalau saya tidak ingin bersih-bersih, bilangin sana ke pak Ribut, toh kepala sekolah sini saudara saya, gua pengen bersih-bersih atau enggak kek, masa bodok” balas saya dengan muka sinis.
Teman saya pun tidak bisa bicara apa-apa, dia pun pergi. Maklum, dulu saya memang dibilang anak yang tidak rajin, disuruh bersih-bersih tidak mau. Tetapi saat sudah lama disana , saya diberitahu kepada ibu saat liburan ke rumah saya.
“kamu itu nggak boleh, disana nggak ngapa-ngapain, kan disana kamu numpang”. Saya pun mendengarkan nasihat ibu saya, dan akhirnya saya menurutinya. Saat pulang lagi ke Mesuji, hatiku pun sedih sekali, karena jauh lagi dari ibu saya, tetapi aku tetap sabar dan sabar.
Mulai lagi saya masuk sekolah dengan senang hati. Pada suatu hari kedatangan guru baru, guru itu bertanya kepada kami semua.
”apa cita-cita kalian semua”.
Teman-teman saya pun menjawab dengan lantangnya “nggak tau pak”.
Saya mengangkan jari saya “saya ingin bercita-cita menjadi dokter pak”.
Bapak guru itu bertanya lagi, “kenapa ingin jadi dokter”.
Saya menjawab “karena almarhum ayah saya bilang kepada saya kamu harus bisa jadi dokter , harus bisa, begitu pak kata orang tua saya”.
Pak guru menjawab “ini bagus ni keinginan teman kalian, coba kamu maju kedepan, bapak ingin berbincang dengan kamu”.
Saya menjawab “saya pak?” dengan rasa penasaran.
Pak guru “ya kamu, kesini”. Saya pun maju ke depan.
“kamu tinggal dimana nak?”,
saya menjawab “saya tinggal di Bandar Lampung pak, kenapa pak ?”
Guru pun bertanya lagi dengan dengan kagetnya kalau saya tinggal di Bandar Lampung
“kok di Bandar Lampung, disini kamu tinggal sama siapa ?”
“ya pak, disini saya tinggal tempat saudara”, dengan lantangnya saya menjawab.
“oh begitu, kenapa kamu ingin sekolah disini, kenapa tidak di Bandar Lampung kan banyak tu sekolah disana ?” dengan tersenyum.
saya menjawab “ ya ingin sekolah disini saja, ingin cari pengalaman saja pak”
“oh ya, bapak ingin bertanya kepada kamu, kenapa kamu ingin jadi dokter sedangkan teman-temanmu belum tahu cita-cita yang mereka inginkan dan apa motivasinya ?”, dengan perasaan penasaran.
“ok saya jawab ya pak, dengerin ya teman-teman, ya saya adalah anak pertama dari dua saudara pak, jadi saya ingin membahagiakan orang tua saya satu-satunya, saya sudah ditinggal ayah saya saat kecil, saya ingin menggapai keinginan ayah saya, mungkin dengan menggapai keinginan itu, ayah disana bisa tersenyum, dan teman-teman pun harus seperti saya, kalian harus bisa menurutin keinginan orang tua kalian, apa lagi yang masih punya orang tua lengkap, kalian harus membahagiakan mereka, cita-cita itu harus ada dalam diri kalian, jangan bilang tidak tau, kalian pasti ada cita-cita kok, kalian harus bilang kepada orang tua kalian, saya bisa bu,menggapaikan keinginan ibu dan bapak, saya bisa!!!, gitu pak yang saya inginkan”.
Guru dan teman-teman mendengarkan dengan serius,
“beri tepuk tangan pada teman kalian didepan ini” teman saya pun bertepuk tangan kepada saya,
guru mengatakan “itu yang bapak ingin dari kalian, bercita-cita luar biasa, kalian harus bisa menggapai cita-cita kalian, jangan bilang tidak tahu.Ok, kita lanjutkan pelajaran hari ini”.
Kami pun melanjutkan belajar dengan semangat, semua teman-teman berdiam dan memperhatikan guru baru tersebut. Beberapa jam bel pulang berbunyi, kami semua pun pulang.
Beberapa hari sekolah pun libur dua hari, saya pulang ke kota yang saya inginkan, dengan bahagianya saya pulang, saat sampai di terminal Rajabasa, saya dijemput dengan ibu saya, dijalan berkata kepada saya
“nak di rumah ada ayah baru, kamu jangan marah ya”,
“apa si bu, nggak denger, nanti saja dirumah bilangnya”.
Sampailah dirumah, saya tidak ingat perkataan ibu tadi apa waktu dijalan, ibu langsung membawa barang saya, dan sehabis itu ibu langsung kekamar. Saya duduk sambil menonton tv, ada seorang bapak-bapak kerumah saya, saya pun bilang dengan sopan
“maaf bapak siapa ya, kok langsung masuk ke rumah saya”, dengan muka penasaran.
Ibu pun keluar dari kamarnya, bapak itu pun menjawab pertanyaan saya
“aku ini ayah baru kamu nak” sambil mengelus rambut saya,
saya pun kaget mendengar yang dibilang bapak-bapak itu, saya dengan lantang menjawab,
“inget ya pak, ayah saya cuma satu, yaitu ayah saya sendiri yang sudah meninggalkan saya selama 5 tahun yang lalu, bapak nggak usah ngarang” ibu menjawab “ hhuussfff, yang sopan nak ngomongnya itu, ibu nggak pernah ngajarin kamu nggak sopan sama orang, ya ini ayah tiri kamu, ibu sudah menikah bulan kemaren yang lalu, ibu sengaja nggak bilang ke kamu kalau ibu mau nikah lagi, maaf ya nak”. Dengan suara lembut.
Saya kaget mendengar apa yang dibilang ibu
“apa!! Aku punya ayah tiri, dulu ibu bilang ke saya , ibu nggak akan nikah lagi , kenapa ibu tega dengan aku sama adik, aku nggak mau punya ayah baru selain ayah yang aku sayangi, aku nggak mau bu, ibu jahat, ibu nggak sayang lagi sama aku”, dengan rasa kecewa.
Aku langsung membawa kunci motor, langsung bergegas pergi dari rumah dengan menahan tangis,
“kamu mau kemana nak, maafin ibu, ibu kesepian dirumah tanpa seorang ayah, ibu tidak bisa ngejalanin hidup sendiri, tolong maafin ibu”, dengan menahan naggis.
Saya menjawab lagi dengan menanggis,
“apa!! Ibu kesepian, terus aku dan adik ini ibu anggep apa, aku anak ibu, aku yang ada disamping ibu, kalau ibu kesepian ibu bisa tinggal di Mesuji bu, nggak kayak gini caranya, ibu jahat, ibu nggak sayang” saya pun langung pergi membawa motor.
Ibu langsung menanggis mengejar aku sampai teras rumah dan memeluk suami barunya itu. Aku pergi dan dijalan aku tetap menangis, saat itu akhir berhenti disebuah tempat, aku berdiam sejenak di bawah pohon, memikirkan soal pertengkaran tadi bersama ibu. Aku tidak menyangka ibu seperti itu, padahal ibu masih sayang kepada ayah, tetapi mengapa ibu tega,
“saya nggak mau punya ayah tiri, saya nggak mau punya ayah kedua, saya nggak mau disayang sama ayah yang kedua. Ayah saya cuma satu, nggak ada yang bisa gantiin ayah saya selain ayah kandung saya sendiri, ibu memang tega, dia nggak sayang sama aku, dari dulu semenjak ayah nggak ada pun saya nggak mau punya ayah tiri, tetapi ibu nggak pernah ngerti perasaan aku, aku belum bisa menerima ayah meninggalkan aku, tetapi ibu kenapa tega”.
Aku tetap masih berada dibawah pohon yang begitu sejuk, masih meneteskan air mata yang tidak bisa begitu berhenti-hentinya, aku tidak tahu harus kemana lagi, dsini saya tidak banyak kenal dengan daerah kelahiranku. Handphoneku berdering terus, menyebut panggilan dari ibu dari tadi, beberapa pesan singkat muncul beulang kali, tetapi aku pun tidak bergegas melihat pesan singkat itu dan tidak mengangkat telpon dari siapa pun, aku masih kesal dengan ibu, yang tidak mengatakan kalau dia benar-benar ingin menikah, saya tidak menyangka itu semua bakal terjadi kepada diri aku, aku masih belum ingin mempunyai ayah tiri. Matahari pun sudah mulai sedikit-sedikit tertutup,
“agaknya udah sore deh, tetapi aku tidak ingin pulang, aku masih kesal dengan perbuatan ibu. Biarlah aku kelaparan di sini ditimbang pulang, melihat ibu yang sudah mempunyai suami baru”. Dengan melihat langit keatas.
Beberapa jam kemudian, saya melihat saudara saya dijalan dia adalah adik dari almarhum ayah saya, dan dia melihat saya juga dia berhenti didepan motor saya,
“kamu ngapain disini?” dengan suara lembut.
aku menjawab dengan muka yang begitu sedih,
“nggak apa-apa kok bi, aku pengen sendirian saja, aku nggak mau pulang”,
bibi menjawab bertanyaan aku,
“ya bibi tahu kalau kamu nggak ingin punya ayah baru, bibi juga tidak ingin ibumu menikah, tetapi ya harus gimana lagi, bibi tidak bisa bilang apa-apa nak, kamu harus menerima ayah baru kamu, pasti kamu bisa kok menerima dia , kamu harus pulang, kasihan ibu mu memikirkan menunggu kamu dirumah, ayok pulang bersama bibi”. Dengan begitu lembut memegang rambutku.
Aku mengelah aku tidak ingin pulang
“sudah bi, aku tidak ingin pulang, buat apa aku pulang yang ada cuma buat aku sedih, aku nggak bisa nerima ayah tiri itu, aku tidak ingin itu semua bi, aku masih sayang sama ayah, aku nggak ingin nantinya aku lupa dengan ayah dan ayah pun bakal lupa denganku disana dia sedih kalau tahu ibu sudah mempunyai suami lagi, itu yang aku inginkan bi”. Dengan begitu polosnya.
Bibi pun meneteskan air matanya dengan memelukku,
“hey, kalau kamu sayang kepada ayah kamu, kamu nggak akan lupa denganya, dan ayah kamu pun begitu, dia pasti senang melihat ibumu sudah menggantikannya, tidak ada lagi rasa kecapean bagi ibumu yang tiap hari berangkat pagi dan pulang malam, pasti ayahmu tetap senang disana, tetapi melihat kamu kayak gini pasti dia sedih, anaknya tidak mau mendapatkan ayah baru lagi, padahal ayah kamu tetap senang, percaya sama bibi”.
aku bertanya lagi “tetapi bi, aku tetap tidak ingin mempunyai ayah baru”,
“ya sudah, mungkin ini awal kamu tidak ingin mempunyai ayah tiri, nanti pasti kamu bakal menerimanya, entah kapan, ya sudah kita pulang ini sudah larut malam, nanti kamu kedinginan ”. dengan sabarnya.
aku melepaskan pelukan dari bibi, dan mengatakan,
“aku nggak mau pulang bi, biarin saja aku disini”.
Bibi menjawab “tidak mungkin bibi meninggalkan kamu sendirian disini, kerumah bibi saja kalau begitu”.
“ya sudah, tetapi besok atau nusa aku masih tidak ingin melihat ibu ada didepanku, aku masih kesal dengannya, kalau sampai bibi memanggil ibu, aku bakal kabur lagi”,
“ya sudah, bibi akan bilang ke ibumu, kalau kamu tidak ingin menemuinya, ya sudah ayok kita pulang”.
Aku langsung bergegas pulang ke rumah bibiku, disana sampai larut malam, maklum rumah bibiku lumayan agak jauh dari perkotaan. Keesokan harinya aku pagi-pagi sudah dibangunkan oleh bibiku, dirumah memang sepi, dia juga belum menikah. Setelah membangunkanku, ia langsung masak untukku. Aku pun bangun dan langsung mandi, setelah mandi aku langsung didepan rumahnya, udaranya begitu asri, aku merenung sejenak “benar juga yang dibilang bibi kemaren, aku terlalu egois hanya memikirkan diri aku sendiri, aku tidak memikirkan ibuku, ya sudah mungkin aku harus meminta maaf kepadanya, dan mingkin mau tidak mau aku harus menerima ayah baru itu, hmm oh ya kok aku kangen ya dengan teman-temanku disana, aku ingin berangkat lagi kesana”. Tiba-tiba bibi datang menghampiriku,
“kenapa pagi-pagi sudah melamun, senyum-senyum lagi nanti kesambet setan lo”, aku kaget dengan menjawab,
“hm bibi, tidak, tidak apa-apa kok bi, aku sekarang sudah paham kenapa ibu menikah lagi”,
“hm nah gitu dong, ini baru saudara bibi yang paling pintar, kamu harus menerimanya ya sayang, kamu harus tersenyum dengannya, pasti ayah kamu yang disana senang juga melihatmu bisa menerima ayah baru”,
aku dengan tersenyum
“makasih ya bi, bibi sudah menyadarkan aku, kalau tidak ada bibi, siapa lagi yang bisa aku dengar nasihat”,
“ya sayang, ya sudah bibi sudah membuatkan sarapan buatmu, ayok kita makan”, aku dan bibi langsung menuju ruang makan. Setelah selesai makan kita pun membereskan meja makan. Mahahari pun sudah terlihat, aku mengajak bibi untuk pulang ke rumah, aku ingin meminta maaf dengan ibu dan ayah.
“ya dong itu harus, kamu harus minta maaf kepada ibumu, ibu itu tidak pernah salah nak, cuma kitanya saja yang salah tangkap. Ibu kamu menikah itu pasti ada alasan tertentu, ya sudah yok kita berangkat”,
aku tersenyum dan berangkat kerumahku.
Setelah saya sampai rumah, saya langsung memeluk ibu saya.
“maafin aku bu, aku terlalu memikirkan diri sendiri, aku tidak memikirkan perasaan ibu, maafkan aku bu”,
ibuku pun senang melihat aku kembali lagi kerumah,
“maafkan ibu juga nak, ibu tidak bilang ke kamu kalau ibu sudah menikah”
“ya bu tidak apa-apa, tetapi lain kali, kalau ada apa-apa ibu harus bilang, ya bu ?”, ibu tersenyum dan menjawab “ya sayang, ibu tidak akan mengulanginya lagi”. Aku melepaskan pelukan dari ibu dan bibiku pun ikut senang melihat aku sudah menerima ayah tirinya itu, ayah baruku pun tersenyum dan aku sudah memanggil dengan sebutan ayah. Jam menunjukkan larut malam, saya pun tidur dengan lelapnya di kamar kesayanganku. Keesokan harinya aku pun bersiap-siap berangkat untuk pergi ke desa terpencilku. Aku pergi dengan rasa senang, tidak ada lagi kesedihan yang aku rasakan sebelumnya. Setelah sampai kurang lebih lima jam dari Bandar Lampung sampailah didesa terpencil yang aku senangi. Keesokan harinya saya bersekolah dengan senang, bertemu teman-teman, bercanda, tertawa dengan senang. Di sana pun saya belajar dengan lebih giat lagi sampai lulus kelas 3 SMP, saat kelulusan tiap tahunnya sekolah mengadakan perpisahan seperti membuat pesta di sekolah dan saat itu juga diumumkan murid teladan disekolah, dan itu saya yang menjadi murid teladan tersebut, hati saya bahagia sekali bisa mendapatkan murid teladan tersebut, yang menuruti tata peraturan di sekolah, belajar dengan baik, mendapat peringkat dari kelas satu sampai kelas tiga SMP. Saya terharu menanggis, saya pun menaik ke atas panggung dengan mengatakan,
“terima kasih bapak ibu guru atas hadiah yang saya dapatkan ini, tanpa bapak ibu guru saya tidak mungkin mendapatkan ini, dan saya juga terima kasih kepada kepala sekolah , yaitu pak Parno, terima kasih pak sudah menjaga saat saya di tinggal disini. Tentu saja saya berterima kasih kepada orang yang begitu saya cintai, yaitu ibu saya, dia telah men-suport saya untuk belajar terus walaupun beliau tidak ada disamping saya, terima kasih bu. Dan saya berterima kasih kepada semua teman-teman yang ada disini, terima kasih ya guys”.
Begitulah kata-kata yang saya sampaikan saat terakhir disana. Beberapa hari saya bersama ibu saya pulang ke kota kelahiran saya. Disini saya melanjutkan sekolah seperti ibu yang saya inginkan yaitu sekolah di farmasi, itu yang ibu inginkan dan akhirnya saya di terima sekolah farmasi dengan test dengan hasil yang memuaskan, saya melanjutkan sekolah disini dengan baik.

No comments:

Post a Comment